Wednesday, 19 September 2012

Kakek penjual Lontong di depan BNI pangkalan Bun


Setiap kali saya menuju ke ATM di kantor BNI yang terletak di Jln. Pangeran Antasari Sebelah dealer Honda pada malam hari. Senantiasa melihat sebuah dagangan dengan menggunakan gerobak tua lengkap dengan lampu minyak yang menyala redup dia antara lampu-lampu kota yang ada di sekitar lokasi.
Disisi duduk terpungkur kakek tua si pemilik dagangan.tak ada yang aneh dengan dagangan yang ia jual.namun di tengah menjamurnya warung-warung di kota pangkalan bun yang menawarkan berbagai pilihan masakan dari yang khas pangkalan bun sampai sea food.
Namun kakek itu tetap nekat menjual lontongnya dengan kondisi fisiknya yang sudah renta. Mungkin karena kakek itu belum mengikuti perkembangan dunia usaha/bisnis yang semakin ketat persainganya. Atau keadaan lah yang tidak memberikan pilihan kepada sang kakek sehingga ia tidak tau bagaimana cara menarik pembeli.
Meski demikian dia tetap semangat berdagang dengan cara yang ia tahu meski mengerti daganganya gak laku-laku dengan menu andalan lontong tahu yang juga satu-satunya dengan rasanya yang jauh jika di bandingkan dengan warung-warung yang sudah memiliki ratusan pelanggan setiap harinya.
Atau mungkin gengsi dari warga pangkalan bun yang lebih suka membeli makanan di mini market, Lestoran ataupun rumah makan terkenal yang tempatnya lebih memah walau rasa sama saja.
Itulah ironis kehidupan ini, kakek tua dengan daganganya tetap saja tua tanpa ada yang menghiraukanya. Dan ia tetap menjual daganganya meski kadang tak satupun laku hasil jerih payahnya.
Kemarin ketika hendak hendak mengambil uang di ATM saya melihat Kakek tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli masakanya itu, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan makan lontong. Yach, sekedar ingin membantu Kakek itu melariskan dagangannya. Seusai mengambil uang, saya menghampiri Kakek tadi. Tampak wajahnya sumringah menyambut kedatangan saya... ya.. mungkin memang sudah menjadi cara dia menyambut pembeli-pembelinya juga selalu tersenyum ramah .Sayapun bertanya berapa harga sebungkusnya kek. “enamribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh ya alloh, harga sebungkus lontong yang menurut saya sangat buanyak porsinya cuman 6000.jerih payah kakek yang besusah payah bangun pagi-pagi untuk memasak belum termasuk membeli bahan-bahan pokok berapa untung yang dimiliki kakek?!.mungkin hanya seribu rupiah itupun kalau laku, Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi Kakek tua itu sangatlah berarti. Saya tercengang dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, empat bungkus”, kata saya.
kakek penjual lontong




Kakek itu terlihat gembira karena saya membeli lontongya dalam jumlah banyak. Dia meulai meracik bumbu-bumbu untuk sambal lontongya, pelan-pelan ia mulai mengulek, dengan tangan gemetar sesekali ia menyeka peluh yang mulai membasahi dahinya. Saya bertanya kembali kenapa dia sudah tua kok masih jualan. Padahal dengan kondisi fisik yang sudah merenta alangkah baiknya ia menikmati hari tuanya bersama cucu-cucunya. “Kakek cuma Cuma berdua dengan nini, kalau tidak berjualan siapa yang memberi makan kami, hanya inilah yang kakek bisa”, lirihnya. Semakin haru biru saya mendengarkan jawabanya, tak kuat rasanya airmata ini.

Di kala tua yang seharusnya tinggal menghabiskan sisa-sisa umurnya, harus tetap ia pergunakan untuk berjuang mendapatkan sesuap nasi bersama istrinya.
Di sisi lain banyak pasangan-pasangan muda yang kawin-cerai dengan keadaan ekonomi sebagai alasanya. Tapi ini kakek nenek berjuang dengan segala keterbatasanya namun tetap kukuh diatas ikrar cinta mereka.
  
Setelah selesai saya bayar Rp24.000 untuk sepuluh bungkus lontong, saya segera bergegas pulang tak kuasa batin ini melihat ironi ini. saya teringat timeline salah seorang teman: “Pedagang Pinggiran, kakek tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi.
Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak menyukainya. Dengan membeli dagangan mereka , akan lebih menghargainya karena jiwa mereka sebenarnya bukan pengemis.jika boleh memilih ia lebih bangga laku jualanya daripada menerima sedekah.
 Jangan selalu membeli makanan di restoran / warung makan mewah yang nyaman dan lengkap….”.



Si Kakek tua adalah salah satu dari sekian para pedagang kaki lima yang barangnya gak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.




Dalam pandangan saya Kakek tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran , meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si Kakek tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan yang keuntungannya tidak seberapa itu.

Belilah daganganya kalaupun tidak suka dengan lontongnya berikan kepada pemulung2 yang lewat, bapak2 satpam yang sedang berjaga atau yang saat ini lagi menahan lapar pasti lebih besar pahalanya
.

Tak ada sesuatu yang mubadzir, tergantung cara kita berfikirnya.

2 comments:

  1. di tahun 1995 aku menjadi pelanggan tetapnya mas...dulu harganya masih Rp.500,-waktu itu umurku masih 15 tahun, jadi sudah 18 tahun yang lalu.

    ReplyDelete
  2. Dua bulan yang lalu saya berada di pangkalan bun, saya lihat ada pedagang lontong/ketoprak. Mungkinkah pak tua itu yang dimaksud.

    ReplyDelete